Panorama Bukit Tinggi

BUKITTINGGI – Sepanjang menyusuri Bukittinggi tak henti hati memuji keindahan daerah yang pernah menjadi kota utama negara ini. Udara nan dingin, panorama indah dilingkungi perbukitan, plus tanaman hijau yang menambah kesejukan. Dengan modal semacam itu, tidaklah salah jika Bukittinggi menjadi salah satu tujuan wisata yang mesti dikunjungi pelancong yang datang di provinsi Sumatera Barat.

Ada beberapa tempat wisata juga di kabupaten yang pernah menjadi ibu kota negara RI kala perang masih berkecamuk. Salah satunya adalah Goa Jepang yang masih berada di areal pusat kota Bukittinggi.
Goa Jepang adalah bukti sejarah pendudukan Jepang yang masih tersisa hingga sekarang. Lubang gunung yang berdinding batu keras ini panjangnya puluhan meter di bahwa Jl. Raya Ngarai Sihanok, memiliki rahasia dan keunikan tersendiri.
Dengan rongga berbentuk setengah lingkaran yang rata-rata tingginya sekitar dua meter itu– kecuali beberapa rongga yang memaksa para pengunjung membungkuk untuk melewatinya—gua ini dulunya memiliki fungsi strategis bagi serdadu Jepang.
Lorong masuknya sangat dalam dan panjang. Ada sekitar 128 anak tangga untuk turun ke bawah sebelum akhirnya para pengunjung melewati ruang demi ruang Goa Jepang itu. Laksana ”rumah semut tanah”, para pengunjung akan melewati beberapa lorong gua yang bercabang-cabang. Memang tak begitu rumit bagi yang mengetahui gua ini, tapi buat orang yang belum pernah melintasinya lumayan membingungkan. Saat di dalam, pengunjung tak akan bisa membedakan antara pagi, siang, atau malam. Lorong-lorong diberi penerangan lampu neon.
”Gua ini panjang sebenarnya satu setengah kilometer, sekarang hanya sekitar 750 meter,” ujar Oki Satria, pemandu wisata yang juga penduduk asli di sekitar gua.
Goa Jepang itu terbagi dalam beberapa kamar. Mulai dari lorong untuk rapat mereka, tempat makan hingga kamar para tahanan yang orang Indonesia.
Ada 12 barak militer, 12 tempat tidur, 6 buah ruang amunisi, dua ruang makan romusha dan satu ruang sidang. Yang unik adalah, karena lorong gua ini punya beberapa saluran untuk ke atas tanah, beberapa lorong dipakai sebagai lorong penyergapan dan pengintaian bagi para penduduk – Indonesia – yang kebetulan melintasi daerah itu.
”Ini tempat pengintaiannya. Setelah diintai, mereka masuk lewat lorong yang di situ, untuk menyergap,” ujar Oki.
Yang cukup mengagetkan, menurut Oki, selain dua lubang itu, ada sebuah lubang yang dijadikan untuk pembuangan para korban yang jelas telah berupa mayat.
”Ini lubangnya, tapi sudah diperkecil dengan semen agar tak berbahaya buat pengunjung sekarang. Kabarnya, dulu, di lubang ini pernah ada orang luar negeri yang jatuh terperosok,” ujarnya.
Lumayan menyeramkan. Bila seseorang terperosok masuk lubang, ia akan langsung ke bibir jurang Ngarai Sihanok, dan kemudian menghilang untuk selamanya.
Menurut juru kuncinya, gua itu ditemukan pada tahun 1946 setelah Indonesia Merdeka. Menurut Jul Ikram, kepala museum Perjuangan ”Tri Daya Ekadarma” di Jl. Raya Panorama, Satu-satunya senjata yang tersisa dari Goa Jepang itu ada di museum ini. ”Ada pistol yang diambil dari gua, sedangkan yang lain tidak diketemukan,” ujar Jul. ”Sejarah setelah Jepang terlalu panjang sehingga tidak bisa dipastikan kapan senjata-senjata itu hilang.”
Sementara Oki berpendapat bahwa gua yang ditemukan tahun 1942 hingga 1945 ini berisi banyak orang dari berbagai kepulauan di Indonesia yang menjadi tahanan di gua ini. Untuk menjaga kerahasiaan gua pada masa itu, orang Indonesia yang pernah datang akan dibungkam selamanya agar tak ada yang bisa bercerita atau bersaksi.
Di depan gua yang diresmikan sebagai objek wisata oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan pada tanggal 11 Maret 1986 itu, terdapat taman Panorama, yang selain berupa tempat yang rindang, juga tempat bercengkerama dan berjualan cenderamata. Taman yang merupakan bagian dari areal Ngarai Sihanok ini dihiasi pepohonan. Kera-kera liar kerap muncul untuk mendapatkan makanan dari para pengunjung.
”Beli kacangnya, Da. Buat kera-kera itu,” ujar seorang penjual kacang kepada setiap para pengunjung yang melintas.
Tak ada cerita pasti mengapa kera-kera itu muncul. Namun, mereka memang hidup di antara pepohonan lebat. Jumlah mereka cukup besar. Sekali pun mau menerima makanan dari para pengunjung, jangan harap mereka bisa disentuh. SH yang berniat berfoto bersama kera itu hampir dicengkeram kalau tak segera mengelak. Malah beberapa pengunjung terkejut karena si kera tiba-tiba merebut plastik berisi kacang dari tangan mereka. Agaknya, sang kera sudah terlalu lapar.

Jam Gadang
Konon, Goa Jepang ini masih berhubungan dengan jalan yang menuju Jam Gadang. Simbol khas Sumatera Barat ini pun memiliki cerita dan keunikan karena usianya yang sudah puluhan tahun.
Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun.
Jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota). Dulu, jam ini berbentuk bulat dan di atasnya berdiri patung ayam jantan di masa Belanda, dan berbentuk klenteng pada masa Jepang. Pada masa kemerdekaan, bentuknya berubah lagi menjadi ornamen rumah adat Minangkabau.
Ukuran diameter jam ini adalah 80 cm, dengan denah dasar 13x4 meter sedangkan tingginya 26 meter. Pembangunan Jam Gadang konon menghabiskan total biaya pembangunan 3.000 Gulden ini, akhirnya menjadi landmark atau lambang dari kota Bukittinggi.
Ada keunikan dari angka-angka romawi pada Jam Gadang ini. Bila penulisan huruf romawi biasanya pada angka enam adalah VI, angka tujuh adalah VII dan angka delapan adalah VIII, maka pada angka empat adalah IIII. Entah mengapa angka empat tak dilambangkan dengan IV. Tidak disengaja atau agar bisa membedakan dengan angka enam yang berupa VI? Entahlah.
”Kabarnya ada korban saat pendirian jam ini. Angka empat yang dibuat dalam bentuk angka satu romawi yang berderet dimaksudkan untuk jumlah tumbal itu,” jelas Iben, seorang pemandu yang juga berdarah Sumatera Barat. Agak sumir juga keterangan itu, karena bukankah jam itu sudah dibuat dari negeri Paman Sam sana, sedangkan korban atau tumbal baru terjadi setelah pendirian Jam Gadangnya?

Beragam Lokasi Wisata
Beberapa tempat yang menarik di kota Bukittinggi ini adalah salah satunya benteng tertua adalah Benteng Vort de Kock. Benteng tertua ini memang sudah banyak mengalami renovasi, namun sangat bersejarah dalam perjuangan bangsa.
Tak jauh dari Bukittinggi, sekitar 25 kilometer jaraknya, di Padang Panjang ada Lembah Anai yang biasa dijadikan para pengunjung sebagai tempat untuk berwisata karena air terjun dan sungai di bawah air terjun yang sangat sejuk dan biasa dinikmati orang yang berlintasan di jalan raya yang jaraknya tak jauh dari Lembah Anai.
Dari Jalan Raya Ngarai Sihanok tadi bisa ke arah Danau Maninjau maupun ke Koto Gadang. Keindahan Danau Maninjau memang dapat menarik perhatian para pengunjung, asalkan kelestarian alamnya bisa diperhatikan baik masyarakat dan pemerintah, keindahan danau ini bisa jadi penarik buat kota Bukittinggi yang perlu didukung dengan promosi wisata.
Di sana juga ada istana Paguruyung yang bersejarah terutama bagi masyarakat Padang. Tempat itu mengingatkan kita pada Raja Johan Iskandar (1851) yang mempunyai sembilan orang anak perempuan.
Cukup banyak lokasi wisata yang menarik untuk dikunjungi dan semuanya mengandung sejarah tersendiri. Tak cukup sehari dua hari menyusuri semua tempat tersebut. Dan yang mengesankan adalah semua lokasi wisata ini dibalut dengan keindahan alam khas yang tak bisa dijumpa di daerah lain.
Kalau setiap kabupaten yang ada di provinsi Sumatera Barat dan beribukotakan Padang ini bisa mempercantik diri, alamnya pasti akan mengundang baik turis lokal maupun internasional. Onde mande, rancak bana, itu juga ungkapan yang keluar setiap para pengunjung yang singgah ke sana.

Tidak ada komentar: